Home

6 Jun 2015

Tujuh Tahun.

Siapa sangka ternyata blog ini sudah berumur 7 tahun. Tidak pasif barang satu tahun pun. Todak pernah saya lupa paswordnya walaupun berbulan-bulan tidak diisi apa-apa. Siapa sangka blog berumur 7 tahun ini dulu dimulai dari kesukaan menulis diary. Lama kelamaan karena laci lemari dirasa sudah kepenuhan menampung aneka rupa diary saya, saya putuskan sepertinya harus didigitalkan saja.

Jaman dulu internet tidak seperti sekarang. Hp ada kamera saja sudah bagus, mana punya saya yang bisa buat mengakses friendster atau facebook. Jaman dulu kalau mau online saya harus menabung satu hari untuk beli pulsa lima ribu untuk mengisi pulsa di HP cdma kaka saya yang bisa dipergunakan sebagai modem kalau dia berbaik hati. Dengan catatan, ya saya yang mengisi pulsa.

Dulu saya tak pernah dengan lega mengotak atik template blog ini. Tidak juga ada teman-teman yang saya kunjungi catatan hariannya selain penulis-penulis yang memang sudah bersahabat dengan internet dari jaman dahulu kala. Teman-teman saya dulu penulis-penulis cantik macam Dee Lestari atau Alanda Karisha. Lainnya saya hanya sambil iseng saja jadi penjelajah blog. Pada dasarnya saya memang suka menjelajah, dan berubah menjadi traveling saat saya sebesar sekarang.

Lalu saya menulis di One Note. Setidaknya saya tidak perlu online untuk menulis. Sampai akhirnya ternyata perangkat komputer di rumah saya tidak mau dinyalakan. Kena virus, kata kakak saya. Saya saja tak tau apa wujud dari virus. Yang saya tau virus itu mengeluarkan bunyi yang sangat berisik jika dia terdeteksi sedang asyik menggerogoti perangkat komputer saya. Dan file selama - selama berbulan-bulan itu hilang. Saya tidak tau lagi apa cerita saya saat itu. Mudah-mudahan memang tidak ada yang penting jadi tidak apa - apa kalau dilupakan.

Sampai akhirnya saya punya cukup uang untuk main ke warnet setiap minggu sekali atau dua. Lalu saya punya uang untuk beli modem atau perangkat handphone sendiri yang bisa disambungkan ke komputer kesayangan saya sendiri, saya mulai menulis. Lagi. Lagi. Lagi. Tentang hati.

Sampai saya mencoba belajar, menulis lagi. Lagi. Lagi. Sampai statistik saya melejit. Lagi. Lagi. Lagi. Saya menulis karena candu. Candu dikunjungi banyak orang. Saya candu kepopularitasan. Ternyata menjadi populer memang menyenangkan.

Sampai saya akhirnya sibuk sendiri. Tak ada lagi isi kepala yang ingin dituang. Semua sudah dituangkan kepada kekasih hati. Atau sahabat satu atap yang ditemui saat mata terbuka dan sebelum terpejam kembali. Blog ini kembali hilang. Lagi. Lagi. Lagi. Saya mengabaikan blog ini.

Selamat tujuh tahun blog kesayangan saya. Terima kasih tidak pernah marah atas silih bergantinya objek cerita yang saya tulis. Terima kasih tidak membuat saya melupakan kata kunci untuk masuk.

2 Jun 2015

That's how you live. Just happy!!

Saya percaya bahagia itu kita yang ciptakan. No matter what they say, we made our happiness itself.

Tapi individu mana yang bisa lepas dari opini publik. Terlebih jika selama ini jika dia dikenal sebagai salah satu figur yang menjadi panutan bagi individu lainnya. Avoiding and ignoring will the hardest thing to do. Apalagi jika opini publik tersebut keluar untuk cerita kehidupan pribadinya.

Satu percakapan menarik keluar saat saya dan teman saya mengemukakan satu berita mencengangkan,
"Pak Bos ini katanya mau nikah lho, sama abg."

Ah, saya sih bisa bilang bodo amat kalau si Pak Bos yang dia bilang adalah figur lebih terkenal lainnya yang tidak saya kenal, dan bukannya Pak Bos yang saya kenal dan well.....i dore him a lot.

"Seriously?? he just got divorced last year, right?"

Oke. dan saya pun mengeluarkan opini publik lainnya. Dan percakapan kami selanjutnya terdengar seperti obrolan sampah antara ibu-ibu komplek yang sedang belanja sayur di depan pos ronda RT.

Tapi apalah arti percakapan saya dan teman saya itu. Bahagia itu toh mereka yang menciptakan. Walaupun konon katanya berita semacam itu sudah beredar di seantero gedung tempat kami bekerja. But who cares, if they're single and they feel fit to each other. Even it doesn't look the same in our eyes. Sorry, i mean in our mind.

Atau seperti bagaimana ketika di lain kesempatan saya dan teman saya yang lain memberi cerita,
"Dia mau married. Pemberkatannya kayaknya di gereja deket kawasan A"

Dan bertimpal dengan jawaban saya, "Sayang banget. Dia beneran murtad??"

Hahaha....who cares with what i thought, eh?
Ini negara yang merdeka dan kelewat demokratis. Ah, walaupun perintah agama tidak ada korelasinya dengan kedemokratisan suatu negara. Tapi lagi-lagi siapa yang peduli dengan seorang muslim yang tiba-tiba makan babi karena dia begitu ingin menikahi sang pujaan hati. Bahkan kedua orang tuanya pun mungkin tidak akan banyak bicara.

Opini publik sendiri merupakan sebagian kecil bagian dari kehidupan yang harus ditaklukkan untuk menciptakan kebahagiaan itu sendiri. Orang jarang berpikir, bahwa sebenarnya Pak Bos duda itu lebih susah untuk bangkit dari keterpurukannya saat bercerai ketimbang saat mendengarkan setiap orang membicarakan tentang dirinya yang memiliki intimate relationship with a pretty young lady in our office. Atau bagaimana teman muslim saya yang akhirnya makan babi, lebih sulit untuk mengumpulkan keberanian berbicara kepada orang tuanya tentang keinginan biologisnya untuk menikahi seorang gadis yang kebetulan saja berbeda Tuhan dengan keluarganya. And anyone cares about that?? Yep, it's no one.

Jadi semua opini publik itu akhirnya hanya akan berakhir sebagai obrolan sampah yang hilang ketika mereka menghabiskan tetes terakhir di cangkir ice tea mereka saat percakapan itu terjadi. Atau akan tertinggal di meja kayu saat mereka meninggalkan tempat ngopi saat mereka sibuk membicarakan orang lain. Begitulah opini publik akhirnya akan hilang. Dan mereka yang dibicarakan toh akhirnya akan tetap bahagia. Bangkit dari keterpurukannya, tanpa terngiang-ngiang suara sumbang publik-publik idiot seperti saya.

Sebenarnya begitu pula yang akan saya lakukan. Yah, bahagia saja.