Home

16 Feb 2016

Heh....aku tjapek jadi anak Jakarta.

Entah, rasa-rasanya saya mulai terbentuk dengan karakteristik warga-warga ibukota ini. Lama-lama dirasa tjapek juga loh. Banyak brand disini yang apa-apa segmentasinya untuk golongan menengah keatas. Lha....saya ini mulai jadi target pemasaran mereka juga kayaknya.

Bukan di segala lini sih, saya belum semoderate itu untuk apa-apa beli yang branded dan tersertifikasi MUI. Nggak kuat. Tapi kalo melihat bahwa saya dalam seminggu bisa ngabisin uang 150rb buat beberapa gelas kopi yang abis diseruput dalam sejam demi bisa lebih produktif rasanya kok agak lebay. Wong ya padahal ada internet di kantor dan dirumah. Bisa juga kok bikin kopi sachetan atau bikin single origin sendiri pake french press yang udah dibeli mahal-mahal. Tapi gimana, wong nyatanya kalo dikantor otak jadi buntu dan kalo dirumah mata jadi sepet.

Atau, sekarang mulai juga nih nyoba-nyoba beliin aneka lipstik matte, yang plis lah ya jangan sampe mamak saya tau harganya, bisa habis dia geleng-geleng 24 jam ngga brenti. Dulu perasaan saya cuma pake lipstik harga 35ribu itupun bisa ngerayu si mamak mintanya biar punya. Sekarang yasalam...sakti banget lah pokoknya.

Belom lagi bisa banget makan sushi sebulan sekali, steak seratusmapuluhribu sekali makan, trus makan nasi goreng junk food buat makan siang.

Untungnya belom sampe kebawa harus pake jilbab yang ada sertifikat halalnya biar hidupnya adem tentrem, padahal belom juga tuh jilbab bakalan dikunyah dan bisa bikin masuk surga ya kan. Ojo lah, kasian mas Dimas nanti kalo aku minta jilbab mahal-mahal. Cukuplah pasmina rawis seratus ribu dapet 6 aja udah bahagiak.

saya menyebut rasa itu : serah!

Sedikit kalau saya boleh saya bercerita, saya sedang berada yang mana saya sedang tidak bisa membedakan apakah saya sedang menjadi korban atau menjadi calon monster pemarah yang akan mengamuk memukul dan membalikkan semua meja di depan saya. Saya sedang menyadari ini ketika saya mencoba untuk bercerita kepada beberapa orang tentang masalah yang sedang saya hadapi.

"Lo nangis?"
"Kalo mau nangis, nangis aja lah.."
"Kalo gue jadi lo kayaknya gue udah nangis deh..."

Instead of crying, saya malah menghabiskan waktu saya dengan hal-hal tidak berguna yang seringkali saya lakukan, kalau saya sedang baik-baik saja. Menikmati film-film korea dan drama-drama picisan yang diputar di TV kabel dengan rating nyaris tidak pernah menyentuh angka 7 di IMDB. Menghabiskan waktu di depan gelas kopi mbak keriting warna hijau, dengan isi yang tidak pernah berubah, extra hot cappuccino. Tidur dari jam 9 gelap hingga jam 9 terang keesokan harinya. Mandi satu kali sehari. Makan junk food sepanjang minggu. Dan setelah semuanya berlalu begitu berkepanjangan, saya merasa postingan saya sebelumnya sangat wajar kalau memang terjadi. Saya memang seringkali menghabiskan waktu dengan hal-hal tidak berguna. Selain menjadi dewasa, ternyata menjadi berguna juga pilihan.

Saya hidup tampak seperti biasa. Padahal sebenarnya ada sebuah perasaan yang masih belum juga bisa lepas dari dalam dada dan kepala. Entah sedih atau marah, saya pun tak tau apa namanya. Mungkin jika kedua rasa itu digabung, saya akan menyebutnya dengan kata "serah". Ya seperti setiap gadis yang selalu menjawab ogah-ogahan setiap kali ditanya oleh sang kekasih "Kamu maunya apa?". Ya saya akan menyebut rasa itu "serah", dengan cara pengucapan yang sama. Yang mungkin jika dideskripsikan kedalam tulisan, istilah kata yang tepat antara sedih dan marah adalah "serah!"

Saya mulai mengurangi untuk menangis. Bukannya saya gadis anti air mata. Saya hanya sedang mencoba untuk mengalihkan air mata-air mata itu, dengan penyangkalan. Ya Tuhan, saya sadar bahwa saya adalah makhluk paling penuh penyangkalan sedunia. Tidak mau dibilang sedih, tidak juga memperlihatkan kemarahan kepada siapapun. Padahal jika dada ini tidak ada cover dan kepala ini tidak punya kulit, kalian pasti akan menemukan genangan air mata dan gulungan makian kotor.

Lalu saya mengalihkan makian - makian itu dalam suara-suara sumbang yang suka terdengar dari bibir saya, ketika saya mendengarkan lagu-lagu random yang sering saya putar dari playlist orang. Saya menghindari memainkan playlist saya sendiri ketika saya sedang serah! Menghindari saya akan memutar satu lagu secara berulang-ulang selama 24 jam. Saya tidak mau kekasih saya mati karena bosan mendengarkan saya menyanyikan lagu Sorry nya dek Bieber yang lagi terlalu sering saya dengarkan akhir-akhir ini.

Turning Calendar (again)

Mudah-mudahan ini hanya mimpi.....hanya mimpi....

Turning calendar, and 2016 was coming. Rasanya lagu Kisah Sedih di Hari Minggu punya mbak chacha keputer di telinga. Cepetnya....entah kenapa kerasa cepet 2015 berjalan. Ah, kata-kata itu selalu terucap di setiap awal taun. Time goes by, juph. And time to wake up because you've walked still for nothing.

Hard way to start this year. 1 hal yang masih sangat bisa disyukuri adalah sehat dan keluarga yang lengkap. Walaupun chaos kehidupan lagi nyenggol disana sini. But that's life.

Saya merenung, tentang apalagi yang harus menjadi resolusi saya tahun ini. Dengan kondisi kehidupan yang sedang carut marut begini, saya serasa agak ngeri untuk bermimpi. Bahkan cuma sekedar ingin berangkat tidur pun saya enggan. Sudah sekian puluh hari sejak kalender 2015 saya masukkan ke keranjang sampah, saya hampir selalu tidur diatas jam 12. Bukan karena kesibukan, tapi karena ketidak mampuan. Memang benar, isi kepala selalu menjadi ajaib di atas jam 11 malam.

Talking. Coffeeing. No longer writing. Not much books been ate. Sleeping. What will I be?

Long life.
Good laugh.
Hail Hittler. Huff!!