Saya percaya bahagia itu kita yang ciptakan. No matter what they say, we made our happiness itself.
Tapi individu mana yang bisa lepas dari opini publik. Terlebih jika selama ini jika dia dikenal sebagai salah satu figur yang menjadi panutan bagi individu lainnya. Avoiding and ignoring will the hardest thing to do. Apalagi jika opini publik tersebut keluar untuk cerita kehidupan pribadinya.
Satu percakapan menarik keluar saat saya dan teman saya mengemukakan satu berita mencengangkan,
"Pak Bos ini katanya mau nikah lho, sama abg."
Ah, saya sih bisa bilang bodo amat kalau si Pak Bos yang dia bilang adalah figur lebih terkenal lainnya yang tidak saya kenal, dan bukannya Pak Bos yang saya kenal dan well.....i dore him a lot.
"Seriously?? he just got divorced last year, right?"
Oke. dan saya pun mengeluarkan opini publik lainnya. Dan percakapan kami selanjutnya terdengar seperti obrolan sampah antara ibu-ibu komplek yang sedang belanja sayur di depan pos ronda RT.
Tapi apalah arti percakapan saya dan teman saya itu. Bahagia itu toh mereka yang menciptakan. Walaupun konon katanya berita semacam itu sudah beredar di seantero gedung tempat kami bekerja. But who cares, if they're single and they feel fit to each other. Even it doesn't look the same in our eyes. Sorry, i mean in our mind.
Atau seperti bagaimana ketika di lain kesempatan saya dan teman saya yang lain memberi cerita,
"Dia mau married. Pemberkatannya kayaknya di gereja deket kawasan A"
Dan bertimpal dengan jawaban saya, "Sayang banget. Dia beneran murtad??"
Hahaha....who cares with what i thought, eh?
Ini negara yang merdeka dan kelewat demokratis. Ah, walaupun perintah agama tidak ada korelasinya dengan kedemokratisan suatu negara. Tapi lagi-lagi siapa yang peduli dengan seorang muslim yang tiba-tiba makan babi karena dia begitu ingin menikahi sang pujaan hati. Bahkan kedua orang tuanya pun mungkin tidak akan banyak bicara.
Opini publik sendiri merupakan sebagian kecil bagian dari kehidupan yang harus ditaklukkan untuk menciptakan kebahagiaan itu sendiri. Orang jarang berpikir, bahwa sebenarnya Pak Bos duda itu lebih susah untuk bangkit dari keterpurukannya saat bercerai ketimbang saat mendengarkan setiap orang membicarakan tentang dirinya yang memiliki intimate relationship with a pretty young lady in our office. Atau bagaimana teman muslim saya yang akhirnya makan babi, lebih sulit untuk mengumpulkan keberanian berbicara kepada orang tuanya tentang keinginan biologisnya untuk menikahi seorang gadis yang kebetulan saja berbeda Tuhan dengan keluarganya. And anyone cares about that?? Yep, it's no one.
Jadi semua opini publik itu akhirnya hanya akan berakhir sebagai obrolan sampah yang hilang ketika mereka menghabiskan tetes terakhir di cangkir ice tea mereka saat percakapan itu terjadi. Atau akan tertinggal di meja kayu saat mereka meninggalkan tempat ngopi saat mereka sibuk membicarakan orang lain. Begitulah opini publik akhirnya akan hilang. Dan mereka yang dibicarakan toh akhirnya akan tetap bahagia. Bangkit dari keterpurukannya, tanpa terngiang-ngiang suara sumbang publik-publik idiot seperti saya.
Sebenarnya begitu pula yang akan saya lakukan. Yah, bahagia saja.
0 komentar:
Posting Komentar