Home

5 Jun 2013

I left the pain behind

"Jangan pergi..."

Aku terdiam. Menangis. Memahami benar betapa besar penyesalan yang dialaminya. Aku hanya sedang  mencoba untuk menenangkan diriku sendiri.  Untuk tak berteriak. Untuk tidak berlaku kasar padanya. Sosok yang paling kusayang.

Kulihat dirinya berdiri lemas di hadapanku. Wajahnya lusuh penuh peluh dan air mata. Sungguh ingin ku memeluknya. Rambutnya tampak beberapa helai menginti dari balik kerudungnya. Menempel lepek pada pipi putihnya yang memerah dan basah karena air matanya.

Tangannya menyentuh tanganku. Membelai poniku yang jatuh menutup hampir seluruh mataku. Aku menahan diri untuk tidak menangis. Menahan diri untuk tidak jatuh ke pelukannya atau malah memberinya sebuah tamparan keras di pipinya. Tidak. Aku terlalu cinta padanya.

"Reina hanya butuh waktu. Reina akan pergi. Selama waktu yang Reina butuhkan. Reina nggak marah. Apapun asal Mama bahagia, Reina pasti setuju. Termasuk jika ingin menikah lagi dan menduakan Papa. Because I love you a lot, Mam. Reina pamit..."

Kutinggalkan Mama tanpa sebuah kecup manis di pipi putihnya yang  memerah. Kutinggalkan Mama menangis di lantai kayu ruang tamu depan rumah kami. Bersama lukaku agar tak bisa kurasakan lagi.

0 komentar:

Posting Komentar