1.
Selamat sore, langit Jakarta...
Tidak terlalu indah langit sore yang kita lihat saat itu. Hanya langit sore berwarna oranye di tengah keramaian pantai Ancol. Kata orang sih tidak masalah kita ada dimana, dengan siapa itu yang paling penting. Saya tidak melihat ada yang berbeda dengan orang-orang yang ada di sekitar saya. Hanya sahabat perempuan saya yang asyik berpelukan dengan pacarnya, seolah langit Jakarta sore itu adalah langit terindah yang pernah mereka lihat. Saya berani bertaruh, langit-langit penuh bintang di atas gunung-gunung tinggi yang pernah mereka daki pasti 1000 kali lebih mengesankan daripada langit sore itu.
Juga satu anak laki-laki teman sahabat saya yang diajaknya untuk bisa menemani kekakuan saya ketika mereka berpelukan. Saya tidak terlalu mengenalnya, dan saya tidak peduli. Bagi saya, berbicara dengan stranger selalu lebih menyenangkan daripada dengan teman sekolah, atau teman kampus, atau teman kantor. Tapi tetap saja, dia toh tidak membuat saya beranggapan langit oranye Jakarta sore ini terlihat lebih menarik daripada langit-langit Jakarta pada hari lainnya. Tetap saja ini di Jakarta.
Entah apa yang membuat saya begitu tidak nyaman berada di Jakarta. Sekalipun sudah beberapa kali saya bertemu dengan tanggal 1, sepertinya saya masih belum bisa berbasa basi tanpa harus merasa nyeri ketika mengenang Jakarta. Tapi yasudahlah, suka tak suka disinilah saya, Jakarta. Dengan anak laki-laki berkacamata yang duduk di sebelah saya dan asik bermain dengan ponsel berlogo apel tak utuh.
2.
Selamat sore, langit Jakarta...
Warnanya abu-abu. Aku menangis tersedu-sedu. Sore itu saya mendapat kabar dari rumah kalau adik saya masuk ICU dan kondisinya sudah tak sadarkan diri. Saya tak tau harus berbuat apa. Dia tak tau harus berbuat apa.
Dia melipat kakinya setengah seperti seorang tawanan yang sedang memohon ampun. Dipeluknya saya yang duduk didepannya dengan air mata membasahi seluruh pipi. Ditenggelamkannya saya dalam dadanya, saya mendengar degup jantungnya. Saya mendengar kerisauannya.
Saya bersyukur dia masih ad. Dia adalah laki-laki berkacamata yang sama yang memegang ponsel berlogo apel tak utuh. Mungkin saat ini hatinya pun tak lagi utuh. Mulai terasa rapuh karena melihat saya yang menangis tersedu-sedu. Kata dia, air mata saya terlalu menyesakkan, terlalu menyakitkan.
Tiga jam selanjutnya, kabar duka itu pun datang. Bukan hanya tak utuh, lututku terasa nyaris lumpuh. Selamat jalan adikku sayang...
3.
Selamat sore, langit Jakarta...
Dulu kami menduga, seabu-abu sore kami jika sehari saja tak bertatap muka. Tak bertatap muka bukanlah perkara besar. Toh kami sering disibukkan dengan tumpukan kertas atau ratusan sheets excel yang membuat kami seringkali melewatkan langit sore Jakarta bersama-sama. Abu-abu itu datang ketika terdengar satu "sampai jumpa" yang diikuti dengan "sampai jumpa" kedua ketiga dan selanjutnya. Abu-abu itu datang ketika nada-nada tinggi dan hentakan-hentakan gerakan kecil mulai menghampiri percakapan kami di dalam baja roda empat yang dingin.
Saya bersyukur saya memiliki dia, dan sebuah rasa menggelegak di dalam dada bernama rindu. Sore ini saya merindukan dia. Bersama lagu payung teduh yang tak berhasil sukses membuat hatiku teduh, aku menikmati langit Jakarta sore ini. Warnanya oranye, bersemu merah. Merah seperti darah yang jika dia bisa keluar dari pori-pori di bagian dadaku, mungkin dia sudah mengalir dengan deras. Untung dadaku tak berdarah, hanya hatiku saja. Hatiku saja yang tampak berdarah.
4.
Selamat sore, langit Jakarta...
Kami duduk di atas sofa di lantai 18 di salah satu gedung yang siap menghalau pandangan kami untuk melihat bintang. Kami asyik menyaksikan ratusan baja roda empat berpendingin yang sibuk berdulu-duluan untuk menjangkau tempat tujuan di kawasan Sudirman. Mata kami berada di sana, entah dengan pikiran kami masing-masing. Sepertinya dia sedang sibuk mengembara ke salah satu sudut kota di Indonesia, tentu saja lewat pikirannya. Siapa bisa menahan seorang pengembara untuk tinggal dalam satu kota dalam waktu yang lama. Aku pun tak bisa, Tuhan pun tak bisa. Hanya dia yang bisa. Dia yang lebih berkuasa dari Tuhan. Kekasihku hebat bukan?
Anggap saja aku tak juga sedang berada di sana. Hanya badanku yang duduk manis dalam balutan gaun chiffon berwarna biru aqua. Pikiranku, sedang berada satu meter jauhnya dari badanku. Iya, aku sedang sibuk untuk mencari tau apa yang ada dalam pikirannya. Tanpa memperhatikan apa yang mungkin akan mengisi pikiranku, aku sibuk mencari di mana pintu pembuka untuk bisa masuk kedalamnya. Kedalam pikirannya, kedalam sisa hidupnya. Namun aku sepertinya harus kecewa lagi. Ketika aku berhasil menemukannya, ternyata dia terkunci. Iya, terkunci.
5.
Selamat sore, langit Jakarta...
Kalau langit sore Jakarta tak lagi berwarna oranye dari jendela lantai tiga puluh tiga kantorku, mungkin itu lah waktunya aku meninggalkan Jakarta. Mumpung aku belum terlalu mencintainya. Mencintai Jakarta tentu saja, bukan dia. Dia....aku sudah terlanjur mencintainya. Dia lebih indah dari semua langit sore Jakarta dari lantai tiga puluh tiga yang berwarna oranye. Dia membuat hariku ceria melebihi semua langit sore Jakarta yang berhasil membuat para pejuang jalanan ibukota yang lelah dapat memulai kembali perjalanannya bertemu keluarga. Dia, langit sore Jakarta yang paling indah yang pernah kulihat.
Andai langit sore Jakarta itu benar-benar ada. Aku tak pernah bisa melihat apa-apa dari bawah tanah basah ini. Sore itu memang langit Jakarta tak sedang berwarna oranye. Begitu pula dengan senyumnya yang tak lagi terkembang untukku. Tidak akan pernah lagi.
***
6 Maret 2014
2nd floor Radiant Utama
Clarity -John Mayer
0 komentar:
Posting Komentar