Home

17 Mei 2013

Di bawah gerimis

Gerimis selalu menyisakan satu cerita sendiri di satu sudut kota. Seperti malam ini. Lelah berkutat dengan setumpuk tunggakan tagihan dan sistem yang masih mengejar untuk tidak kutinggal pulang. Apa daya langkahku lebih kuat untuk menarik tubuh menjauhi kursi putar di satu ruang di lantai dua gedung tua 5 lantai kantorku. Tak lupa aku meletakkan satu pesan dengan kertas post it di meja nya. Malam ini aku meninggalkan sapaan dalam bahasa Prancis. Kutulis : Bonjour, tak lupa selalu dengan sebuah senyum cantik untuk menggantikan tanda titik

Iya, aku hanya ingin menjadi yang pertama menyapanya saat dia telah siap untuk bekerja. Yah, setidaknya aku berpura-pura benar-benar menyapanya walau aku tau aku tak pernah benar-benar menyapanya. Tidak dengan selamat pagi. Tidak dengan ohayo. Tidak pula dengan Bonjour.

Tak apa, setidaknya pagi ini aku sempat berpapasan sejenak dengannya di mesin absen sidik jari. Berkali-kali dia tampak mengusap layar detector yang selalu berkata "Silahkan coba lagi" setiap dia menyentuhnya. Dua kali aku melihatnya gagal membuat kotak berwarna hitam itu berucap "Terima kasih". Aku berdiri di sebelahnya, menyentuh mesin finger print sekali dengan malas, dan hati girang sekaligus. Sayang sekali mesin sialan itu langsung berucap Terima kasih, pun kotak hitam yang disentuhnya.

Sayang sekali aku tak bisa menyapanya semanis tulisan-tulisanku yang kubuat dengan penuh cinta. Pun dia tidak mengeluarkan sedikitpun suara saat aku berdiri di sebelahnya. Hanya segaris senyum yang dipaksa ditariknya saat dia melihatku berjalan mendekatinya, maksudku mesin finger print di depannya. Ah, siapalah aku ini.

Aku berjalan sendiri. Menatap jalanan yang kosong. Menggantungkan tas hitamku dengan malas menyilang bahu. Kumasukkan kedua tanganku kedalam saku jaket warna merahku. Gerimis selalu romantis dengan caranya sendiri. Jalanan yang hitam basah memantulkan lampu-lampu jalan berwarna oranye. Aku tersenyum. Pada cerita tadi pagi yang terputar dengan cantik di dalam tempurung kepalaku. Tanpa cela. Sedikit terasa menye-menye. Tapi toh aku tersenyum juga.

Terus berjalan dengan angin dingin yang membelai halus kedua pipiku. Aroma malam ini terasa manis. Meskipun tak ada kata yang terucap sepanjang jalanku menuju kerumah. Gerimis selalu memiliki satu cerita sendiri untuk setiap tetesnya. Mungkin suatu saat nanti kita akan menikmati tetes pertama gerimis romantis, dengan cerita kita sendiri. Iya, kita.

0 komentar:

Posting Komentar