Home

12 Nov 2015

Bonus destination : Raja Ampat

Photo taken here
Saya bukan traveller sih. Setidaknya saya tidak pernah mendeklarasikan diri saya sebagai traveller. Saya lebih suka menyebut diri saya pekerja yang suka jalan-jalan. Iya saya pekerja, pekerja keras malah. Setidaknya dulu saya begitu. Atau setidaknya mungkin saya masih akan menjadi pekerja keras kalau saya memang disuruh bekerja keras.

Ada beberapa episode perjalanan dalam hidup saya yang menurut saya, mungkin pada akhirnya akan sulit saya lupakan. Baru-baru ini saya pergi ke suatu tempat. Tempat yang tahun ini belum ada dalam list perjalanan mana saja yang sangat ingin saya datangi. Saya memang bukan pejalan, tapi saya punya sejumlah daftar kota yang ingin saya kunjungi. Dan taun ini saya dapat bonus satu tempat indah untuk saya kunjungi. RAJA AMPAT.

It was unplaned at first. Setidaknya sampai tengah taun, saya tidak menempatkan Raja Ampat dalam list perjalanan saya. Sampai akhirnya, biro konsultan perjalanan yang sedang dirilis oleh pacar saya merelease perjalanan pertamanya ke Raja Ampat. He's inivited me to join. On my birthday. SHOULD I REFUSED??

Hahaha....dan disanalah kami pada tanggal 7 Oktober. Bandar Udara kota Sorong. Rasanya sungguh ajaib, berada di lokasi yang memiliki perbedaan waktu 2 jam dengan Jakarta, lebih awal. Menakjubkan akhirnya saya menjadi kaum minoritas, dandanan saya yang sangat tidak mencolok jika ada di Jakarta, mendadak terasa terlalu nyeleb saat berada disana. Kulit yang tampak terlalu coklat saat foto selfie dengan teman-teman di Jakarta, mendadak jadi yang paling bersih saat ada di tanah Papua. Papua, auramu sungguh menakjubkan.

Saya pernah melakukan perjalanan kesana dan kesini. Sampai akhirnya saya berada di sana, dan saya menangis di atas gugusan pulau-pulau cantik di Wajag. Itu dia, foto-foto yang selama ini seringkali nangkring di timeline Instagram saya. Itu dia, satu-satunya most wanted but really expensive to be reached destination in Indonesia. Dan seriously, bahkan saat saya berada di sana pun seolah saya sedang memandang karpet foto ukuran raksasa yang sedang dibentangkan di kaki saya. Mereka, sungguh luar biasa cantik. Mereka sungguh....tak terkatakan.

Dimas dan Zulfa di puncak Wajag 

Seperti kutipan yang saya letakkan pada muka paragraf awal tulisan ini, saya memang tidak pernah kemana-mana, tapi saya meletakkan mereka dalam daftar perjalanan saya. Lihat saja apa yang saya pernah tulis di awal taun. Sampai sekarang, bahkan semua tempat itu tetap belum berhasil saya datangi. Ah, satu. SAYA TRANSIT DI MAKASSAR SAAT PERJALANAN PULANG KE JAKARTA!!

Dan kedua tempat itu, menjadi pencapaian terbesar dalam hidup saya. Kalian akan sangat memahami itu kalau kalian adalah pembaca setia blog ini dari dulu. Entah berapa kali saya menyebut nama kota Makassar. Makassar. Makassar. Saya masih tidak akan sampai kesana tanpa si pacar yang sungguh luar biasa. Terima kasih mungkin tak akan cukup, maka saya mencoba untuk mengabadikan kenangan kami disini.

Rasanya seru, ketika saya datang lagi ke daerah yang memiliki kebudayaan yang nyaris tidak sama dengan tempat dimana saya tinggal sekarang. Ibukota, Papua, Makassar, apa coba yang bisa disamakan. Indonesia memang kaya.


4 Agu 2015

The Ibu Ibu Pejabat

Saya mau cerita, sudah lama sekali rasanya pengen curhat tapi bingung mau curhat dimana.

Ceritanya pengen ngobrolin temen-temen main saya yang isinya anak-anak perlente yang dengan bangganya menyebut geng kami Ibu-Ibu Pejabat. Owalah...lha wong saya aja mau pulang Semarang aja masih cari tiket kereta ekonomi yang 90ribu kok dimasukin ke dalam geng Ibu Pejabat. Entah untung atau rada ngga mujur aja, karena lokasi saya yang dekat dengan tempat duduk mereka, jadilah saya masuk ke geng rusuh nan selalu tampak (pura-pura) bahagia itu. Saya aja capek pura-pura bahagia kalo main sama mereka. Hahaha
Lucu. Kami sering sekali eksis di Path. 4 kali hari Jumat dalam sebulan, sekali makan minimal 100ribu. Belum kalo arisan. Belum kalo ulang tahun. Belum kalo ada yang kawinan ato lahiran. Belum kalo lagi nyinyirin salah satu anggota geng yang lagi absurd tingkahnya, rasanya kaya saya jadi member geng yang paling ngga loyal. Halah..

Saya juga salah satunya. Lha gimana wong kadang kesel. Sebagian dari mereka adalah anak Jakarta yang mana mereka ngga harus punya budget buat ngekos atau pulang kampung tiap bulan. Maklum, walau kerja di Jakarta saya ini masih buruh yang kalo beli hand body aja masih cari yang paling murah tapi dengan isi paling banyak. Lebih seneng kalo ada extra 20% nya. Oke fokus. Trus, saya ini anak kosan yang Alhamdulillah masih dapet kosan harga 500ribu walau kamar mandinya di luar, masih punya cicilan ini itu waktu pengen beliin Ibuk mesin cuci atau kulkas, masih harus punya pacaran yang budget ngopinya lebih mahal daripada makan saya sehari, plus masih punya 4 weekend yang kadang jadi makin mahal kalo jalannya sama temen-temen ngga pake pacar karena kudu bayar sendiri-sendiri.

Owalah....gini tho rasanya jadi business woman di Jakarta. Ongkos sosialisasinya lebih tinggi daripada ongkos laundry. Tiba-tiba kejumawaan saya sebagai salah satu penghuni Ibukota mulai luntur. Apalagi menjadi bagian dari Ibu-Ibu Pejabat dan punya pacar yang juga anak (mantan) pejabat kadang suka bikin saya pegel-pegel kalo setiap tengah bulan udah mulai rajin nyuci dan nyetrika sendiri, ngga lagi laundry kaya setiap akhir bulan abis gajian. Atau yang biasanya yang kalo hari Sabtu bisa 3x pindah tempat ngopi jadi cuma duduk dikosan sambil minum Good Day Cappuccino. Mudah-mudahan saya diparingi kuat dan sehat buat nyuci nyetrika terus tiap bulan.

29 Jul 2015

Itu, buat saya mantan ya tetap saja someone that ever being exist so that intimate in my life.
Jadi wajar aja sih kalo liat foto doi lagi gendong anaknya bikin agak ngilu-ngilu gimana gitu.



HAHAHAHA
hufft

6 Jun 2015

Tujuh Tahun.

Siapa sangka ternyata blog ini sudah berumur 7 tahun. Tidak pasif barang satu tahun pun. Todak pernah saya lupa paswordnya walaupun berbulan-bulan tidak diisi apa-apa. Siapa sangka blog berumur 7 tahun ini dulu dimulai dari kesukaan menulis diary. Lama kelamaan karena laci lemari dirasa sudah kepenuhan menampung aneka rupa diary saya, saya putuskan sepertinya harus didigitalkan saja.

Jaman dulu internet tidak seperti sekarang. Hp ada kamera saja sudah bagus, mana punya saya yang bisa buat mengakses friendster atau facebook. Jaman dulu kalau mau online saya harus menabung satu hari untuk beli pulsa lima ribu untuk mengisi pulsa di HP cdma kaka saya yang bisa dipergunakan sebagai modem kalau dia berbaik hati. Dengan catatan, ya saya yang mengisi pulsa.

Dulu saya tak pernah dengan lega mengotak atik template blog ini. Tidak juga ada teman-teman yang saya kunjungi catatan hariannya selain penulis-penulis yang memang sudah bersahabat dengan internet dari jaman dahulu kala. Teman-teman saya dulu penulis-penulis cantik macam Dee Lestari atau Alanda Karisha. Lainnya saya hanya sambil iseng saja jadi penjelajah blog. Pada dasarnya saya memang suka menjelajah, dan berubah menjadi traveling saat saya sebesar sekarang.

Lalu saya menulis di One Note. Setidaknya saya tidak perlu online untuk menulis. Sampai akhirnya ternyata perangkat komputer di rumah saya tidak mau dinyalakan. Kena virus, kata kakak saya. Saya saja tak tau apa wujud dari virus. Yang saya tau virus itu mengeluarkan bunyi yang sangat berisik jika dia terdeteksi sedang asyik menggerogoti perangkat komputer saya. Dan file selama - selama berbulan-bulan itu hilang. Saya tidak tau lagi apa cerita saya saat itu. Mudah-mudahan memang tidak ada yang penting jadi tidak apa - apa kalau dilupakan.

Sampai akhirnya saya punya cukup uang untuk main ke warnet setiap minggu sekali atau dua. Lalu saya punya uang untuk beli modem atau perangkat handphone sendiri yang bisa disambungkan ke komputer kesayangan saya sendiri, saya mulai menulis. Lagi. Lagi. Lagi. Tentang hati.

Sampai saya mencoba belajar, menulis lagi. Lagi. Lagi. Sampai statistik saya melejit. Lagi. Lagi. Lagi. Saya menulis karena candu. Candu dikunjungi banyak orang. Saya candu kepopularitasan. Ternyata menjadi populer memang menyenangkan.

Sampai saya akhirnya sibuk sendiri. Tak ada lagi isi kepala yang ingin dituang. Semua sudah dituangkan kepada kekasih hati. Atau sahabat satu atap yang ditemui saat mata terbuka dan sebelum terpejam kembali. Blog ini kembali hilang. Lagi. Lagi. Lagi. Saya mengabaikan blog ini.

Selamat tujuh tahun blog kesayangan saya. Terima kasih tidak pernah marah atas silih bergantinya objek cerita yang saya tulis. Terima kasih tidak membuat saya melupakan kata kunci untuk masuk.

2 Jun 2015

That's how you live. Just happy!!

Saya percaya bahagia itu kita yang ciptakan. No matter what they say, we made our happiness itself.

Tapi individu mana yang bisa lepas dari opini publik. Terlebih jika selama ini jika dia dikenal sebagai salah satu figur yang menjadi panutan bagi individu lainnya. Avoiding and ignoring will the hardest thing to do. Apalagi jika opini publik tersebut keluar untuk cerita kehidupan pribadinya.

Satu percakapan menarik keluar saat saya dan teman saya mengemukakan satu berita mencengangkan,
"Pak Bos ini katanya mau nikah lho, sama abg."

Ah, saya sih bisa bilang bodo amat kalau si Pak Bos yang dia bilang adalah figur lebih terkenal lainnya yang tidak saya kenal, dan bukannya Pak Bos yang saya kenal dan well.....i dore him a lot.

"Seriously?? he just got divorced last year, right?"

Oke. dan saya pun mengeluarkan opini publik lainnya. Dan percakapan kami selanjutnya terdengar seperti obrolan sampah antara ibu-ibu komplek yang sedang belanja sayur di depan pos ronda RT.

Tapi apalah arti percakapan saya dan teman saya itu. Bahagia itu toh mereka yang menciptakan. Walaupun konon katanya berita semacam itu sudah beredar di seantero gedung tempat kami bekerja. But who cares, if they're single and they feel fit to each other. Even it doesn't look the same in our eyes. Sorry, i mean in our mind.

Atau seperti bagaimana ketika di lain kesempatan saya dan teman saya yang lain memberi cerita,
"Dia mau married. Pemberkatannya kayaknya di gereja deket kawasan A"

Dan bertimpal dengan jawaban saya, "Sayang banget. Dia beneran murtad??"

Hahaha....who cares with what i thought, eh?
Ini negara yang merdeka dan kelewat demokratis. Ah, walaupun perintah agama tidak ada korelasinya dengan kedemokratisan suatu negara. Tapi lagi-lagi siapa yang peduli dengan seorang muslim yang tiba-tiba makan babi karena dia begitu ingin menikahi sang pujaan hati. Bahkan kedua orang tuanya pun mungkin tidak akan banyak bicara.

Opini publik sendiri merupakan sebagian kecil bagian dari kehidupan yang harus ditaklukkan untuk menciptakan kebahagiaan itu sendiri. Orang jarang berpikir, bahwa sebenarnya Pak Bos duda itu lebih susah untuk bangkit dari keterpurukannya saat bercerai ketimbang saat mendengarkan setiap orang membicarakan tentang dirinya yang memiliki intimate relationship with a pretty young lady in our office. Atau bagaimana teman muslim saya yang akhirnya makan babi, lebih sulit untuk mengumpulkan keberanian berbicara kepada orang tuanya tentang keinginan biologisnya untuk menikahi seorang gadis yang kebetulan saja berbeda Tuhan dengan keluarganya. And anyone cares about that?? Yep, it's no one.

Jadi semua opini publik itu akhirnya hanya akan berakhir sebagai obrolan sampah yang hilang ketika mereka menghabiskan tetes terakhir di cangkir ice tea mereka saat percakapan itu terjadi. Atau akan tertinggal di meja kayu saat mereka meninggalkan tempat ngopi saat mereka sibuk membicarakan orang lain. Begitulah opini publik akhirnya akan hilang. Dan mereka yang dibicarakan toh akhirnya akan tetap bahagia. Bangkit dari keterpurukannya, tanpa terngiang-ngiang suara sumbang publik-publik idiot seperti saya.

Sebenarnya begitu pula yang akan saya lakukan. Yah, bahagia saja.


10 Mar 2015

Start to.....listen

Saya menyadari bahwa kemampuan saya yang rendah untuk bergaul dan berbaur ini sebentar lagi akan kalah dengan perkembangan jaman yang menuntut kita untuk hidup serba terkoneksi satu dengan yang lain. Saya menyadari bahwa bekerja juga seharusnya bukan hanya menjadi satu-satunya hal yang rutin saya lakukan setiap hari sejak Subuh hingga Isya. Ada banyak hal yang harus saya lakukan dan usahakan jika saya tidak mau terjebak atau tertinggal dengan semua yang serba maju dan pesat.

Selamat datang ke era serba cepat. Internet. 
Selamat datang di kota serba masabodoh. Jakarta.

Taken from here
Saya mencoba untuk berkembang walaupun pelan. Semua buku yang sebelumnya hanya duduk manis di dalam rak dan masih tersegel, mulai saya buka satu per satu. Semua film yang hanya ngandang di laptop saya putar untuk menghabiskan malam. Linimasa twitter yang biasanya hanya untuk sekedar "terlihat beraktifitas" mulai saya geser pelan-pelan. Saya yang biasanya antipati untuk berbaur dengan teman-teman doi mulai untuk sering ikut kumpul walau untuk sekedar menikmati sepiring nasi goreng. Bukankah hidup itu lebih luas dari pintu kamar bukan?

Saya yang dulu banyak bercerita juga mulai banyak mendengar. Sederhana saja dulu, saya mulai dari mendengarkan cerita dari dia yang tercinta. Saya yang biasanya sudah absen dari A sampai Z mencoba untuk memancing dia mengeja dengan bertanya : cerita dong, gantian. Aku ngantuk nih...

Lalu dia memulai ceritanya. Tentang apa yang selama ini menjadi isi dalam kepalanya. Tentang apa yang selama ini membuat dia gamang untuk jalan lewat Barat atau Timur untuk mencapai garis finish. Saya mendengarkan, kata per kata yang keluar dari bibirnya yang mulai kembali berwarna sehat sejak dia berhenti merokok satu bulan yang lalu. Ternyata banyak sebenarnya yang menjadi isi di kepalanya saat saya pikir dia baik-baik saja dan mampu menjalani kehidupannya dengan damai.

Lalu kembali saya mencoba mendengar cerita dari seorang sahabat laki-laki saya. Tentang kehidupan cintanya dengan sahabat saya yang lain. Ah...lucu karena kehidupan itu sudah lama mati. Mereka hanya sedang terjebak dalam indahnya nostalgia dengan mantan. Tapi memang, siapa sih yang bisa membaca isi kepala seseorang. Lagi-lagi saya harus sering menutup mulut dan mulai banyak mendengar agar saya bisa membaca tanpa membuka buku, atau menonton tanpa pergi ke bioskop.

Ternyata belajar semudah itu. Bergaul juga sesederhana itu. Mulai rendahkan diri supaya semakin cepat menjadi tinggi dan naik derajat. Yah begitu...saya bosan ada disini-sini saja. Kalau orang lain tidak bisa membantu saya naik derajat, maka saya yang harus membantu diri saya sendiri.


13 Feb 2015

Sincerely, Different Lover

Kita memang tidak bisa mengelak, bahwa berbeda memanglah berbada. Seberapapun usaha kita untuk membuatnya sama. Yang terbaik yang bisa saya lakukan adalah bagaimana saya tidak membuat jurang berbeda itu menjadi semakin besar. Yang terbaik adalah bagaimana saya bisa membuat berbeda itu menjadi satu kerikil kecil walau sebenarnya dia adalah ombak yang besar. Yang ingin saya lakukan adalah tidak merengek karena kalahnya saya terhadap satu kondisi ketidaksamaan. Seperti bagaimana dulu saya selalu merengek karena satu kondisi keterpisahan karena jarak.


Sincerely,
Different lover

15 Jan 2015

Mereka tak tahu saja, bahwa setiap kali saya memandang mereka sambil memegang cangkir kopi panas saya, saya tak pernah memandang mereka dengan benar. Telinga saya terlalu sibuk dengan lagu sendu yang terputar yang mencoba keras untuk mengusir rasa pilu. Mata saya melihat, tapi tak benar-benar melihat. Telinga saya mendengar, tapi tak benar-benar mendengar. Bibir saya memang tak bergerak, andai ada yang sanggup untuk mendengarkan betapa bising teriakan saya di dalam kepala. Andai suara-suara ini bisa dikeluarkan...