Home

27 Mar 2014

Won't say DON'T

Bosan bercerita tentang cinta dan pekerjaan, saya mencoba memikirkan sesuatu yang lain pagi ini saat sarapan di sebuah restoran hotel ditemani dengan secangkir teh. Pagi ini saya membuat ramuan kopi yang buruk sekali, sampai saya sepertinya tidak ingin meneguk kopi apapun dalam beberapa jam kedepan.

Saya sedang sarapan sambil mengira-ira, apa hanya saya yang sedang menunggu seseorang saat ini dan duduk begitu lama dan terus mengamati kegiatan mereka di sekitar saya. Hingga tercium bau asap rokok yang begitu menyengat hingga terlalu menyesakkan hidung dan rongga paru-paru saya. Saya menduga dia sedang menghisap rokok non slim yang murahan dan begitu cepat mematikan orang-orang di sekelilingnya kalau saja kami dikurung bersamanya di dalam ruangan tertutup. Pria ini sangat tidak seksi, dan sangat tidak punya selera. Tiba-tiba saya tersenyum, sejak kapan saya memiliki selera tentang pria perokok.

Sangat lucu mengingat saya bukan pecinta perokok, meskipun pacar saya yang masih pacar saya adalah seorang perokok ringan. Iya, sekarang dia menjadi perokok ringan sejak menjalani oprasi sinusitis beberapa waktu silam. Mulanya dia adalah perokok akut yang bahkan tidak pernah masuk dalam kriteria cowok berkelas dan seksi versi saya. Tapi saat itu dia masuk ke dalam salah satu kriteria pria seksi idaman saya yang lain. Siapa juga yang tak mau dengan pria tinggi berkacamata dengan kemeja lengan panjang terlipat menggunakan iPhone ditangan kiri dan  ummmm......sayang skali saat itu dia hanya mengendarai vario merah dan bukan Fortuner seperti yang saya kriteriakan. But at least he got 4 from 5. Almost perfect, isn't he?? Walau akhirnya toh saya mendapatkan bonus keseksiannya dengan rokok-rokok itu ditangannnya dan berkibik-kibik asap yang menempel di baju saya. Ya Tuhan, saya jadi rindu pacar seksi saya.

Saya ingat dulu saya pernah mengikuti salah satu tes di perusahaan rokok terkemuka di Indonesia. Antara setengah ingin dan setengah tak yakin saya mengikuti tahapan demi tahapan tes hingga sampai pada tahap interview. Saat itu saya pernah ditanya: what do you think about smoker??

Menurut kalian, apa yang ingin perusahaan rokok dengar tentang calon karyawannya yang tidak merokok tentang rokok dan para perokok? Menimbang-nimbang mana yang lebih besar antara keinginan saya dan ketidakyakinan saya, akhirnya saya menjawab: saya tidak pro dengan smoker, tapi saya juga tidak against smoker. Life is a chosen. 

Tentu saja itu menjadi tahapan akhir dari rangkaian tes yang saya ikuti. Ternyata mengikuti kata hati itu memang lebih ringan.

Lucunya dulu saya selalu kesal bila melihat pacar saya merokok. Tentu saja karena mereka merokok tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Mereka membakar uang orang tua mereka. Menghembuskan asap-asap itu dari mulut hanya ketika berperang melawan masalah hanya untuk berpura-pura menunjukkan keperkasaanya. Semu. Merokok tampak seperti bukan menjadi jati diri mereka. Dan saya tidak suka yang semu, intinya itu saja.

Lalu sekarang saya mendapat seorang perokok setengah aktif yang selalu bersama saya setiap hari. Dia tidak meniupkan asap-asap itu di depan wajah saya atau membiarkan saya terbatuk karenanya. Tapi saya tetap tidak menyukai sensasi yang ada setiap kali dia selesai menghisap nikotin-nikotin yang terkemas dalam batang-batang kertas berwarna putih. Bau tajam tetap saja tercium betapapun banyak permen yang dikunyah atau berliter-liter parfum yang disemprotkannya selepas merokok. Dan saya tidak pernah sekalipun berkata: Jangan merokok! atau dengan usil menyembunyikan rokok-rokoknya.

Bagi saya para perokok-perokok itu telah cukup dewasa dan bijak untuk menikmati jalan hidupnya. Jika mereka menginginkan semuanya berakhir dengan begitu tragis, so it will be. Selama itu bukan bapak anak-anak saya yang membahayakan kesehatan anak-anak saya nantinya, saya tidak akan pernah bilang : Jangan merokok!



Balikpapan,
Alone and lonely with lot of smokes

0 komentar:

Posting Komentar