Home

24 Sep 2012

Solo, Rasisme dan Teroris

Solo sedang diuji lagi. mati-matian malah. yang sabar lah ya buat para warga Solo dan pemimpin barunya.

pemberitaan penyergapan hampir 8 orang terduga teroris dalam kurun waktu 3 hari terakhir sempet bikin media dan sosial media geger nyebut Kota Solo nan indah itu sebagai sarang teroris? ah, sarang teroris mananya? hal-hal kayak gini ngga bisa kok bikin warga Solo pecah (lagi).

Iyalah pecah lagi pasca jaman kolonial dulu udah ada perpecahan kemimpinan di Kasunanan Surakarta yang masih terjadi sampai sekarang. dualisme kepemimpinan oleh Sultan Pakubuwono kesekian (keliatan banget gue males googling), sama Praja Mangkunegaran kesekian (nah...lagi kan) kabarnya sampai sekarang pun belum menemukan titik tengah untuk berdamai. Perebutan tahta, kekuasaan, wilayah dan wanita (halah) nyatanya masih ada sampai era serba 2.0 (nyaris melaju ke 3.0) ini.

Pecah juga pasca kerusuhan 98 yang bikin kota Solo porak poranda karena terprovokasi mahasiswa yang berdemo akibat tragedi Trisakti yang berkepanjangan sampai kasus rasialisme sampai semua nyawa orang Tiong Hoa yang tinggal di Solo nyaris dihabisi massa. Bermiliar-miliar kerugian yang ditanggung selama 2 hari kerusuhan di Solo yang mengakibatkan kegiatan perekonomian sempat lumpuh karena hampir semua gedung, pertokoan dan komplek bisnis dibakar habis dan dijarah oleh massa yang terprovokasi lagi oleh oknum entah siapa.

Berlanjut ke kerusuhan 99 karena saat itu Megawati gagal maju menjadi presiden. Konon katanya Solo yang merupakan "kandang banteng" ini mengamuk di berbagai tempat pusat pemerintahan karena gacokannya kalan perang di Pemilu 2009.

Dan beberapa kali penangkapan teroris yang ada di (wilayah sekitar) Solo, pengeboman gereja dan penembakan pos polisi pasca Ramadhan tahun ini seolah semakin menunjukkan bahwa rakyat Solo itu kuat. semua toh tetap berjalan seperti biasanya. rakyat Solo tidak pula menyalahkan atau menjatuhkan pemerintah mereka. justru dengan adanya tragedi yang terus menerus itu semakin menunjukkan bahwa di Solo ini lah terlihat kerjasama yang kuat antara aparatur pemerintah dengan rakyatnya.

Tau nggak sih kenapa teroris ini suka stay di Solo? opini gue mengatakan, karena mereka merasa bahwa Solo ini adalah tempat yang aman. iya, aman bagi mereka yang bersembunyi untuk menyusun satu kejahatan yang siap mereka lakukan di tempat lain. karena warga Solo begitu pandai untuk berbaur. begitu mampu untuk menghargai perbedaan yang ada di sekeliling mereka. tentu saja tragedi 98 dan 99 begitu memberikan pelajaran berharga bagi mereka, menjadikan mereka tak lagi mudah terprovokasi.

mau bukti? lihat deh setiap kali ada acara budaya yang diadakan di Solo. sebut saja kirab budaya, atau festival batik, SIEM, atau acara keagamaan seperti kirab barongsai di seputaran Pasar Gede atau seperti acara Sekatenan menyambut bulan Ramadhan di halaman Alun-Alun Utara Solo, penikmatnya bukan hanya mereka yang satu ras atau satu agama saja. mereka berbabur dalam kebahagiaan dan kemeriahan pesta yang sedang diadakan tanpa ada lagi selisih yang dapat menimbulkan kerusuhan seperti waktu sebelumnya.

mau bukti lain lagi? lihat saja di kampus-kampus yang ada di Solo. berapa banya wanita-wanita yang tenggelam dalam jubah hitamnya yang besar, tapi tetap dapat bergaul tanpa dikucilkan. berapa banyak laki-laki mengenakan celana ngatung dengan jenggot tebal tapi masih bisa jalan-jalan di pusat perbelanjaan. apa kabar kalau mereka ada di kota besar macam Semarang, Bandung atau Jakarta? sudah pasti bakal dibilang teroris.

ya....semua selalu punya dua sisi positif dan negatif. lihatlah bahwa sekarang tak ada lagi perpecahan suku dan agama di kota budaya itu. tapi lihat juga berapa banyak teroris yang bisa bersembunyi dengan baik di dalamnya. mau coba menghitung ;)

3 komentar: