Home

12 Apr 2013

Cerita tentang Ibu Tiri



Lagi terusik dengan konsep ibu tiri sebenarnya. Terusik gara-gara beberapa waktu belakangan saya lagi sering pulang kampug ke tempat nenek di Purwakarta, dan disini tinggal ponakan gue yang masih SD dan sedikit bingung dengan konsep Ibu tiri.

Ponakan saya ini memang  ditinggal Ibunya sejak dia kecil karena sakit. Ibunya meninggal ketika dia seharusnya sedang membutuhkan total peranan seorang Ibu dalam perkembangan eksistensinya. Dan malangnya, adik perempuannya saat itu baru berusia 1 tahun. Dan ya...sejak Ibunya meninggal, akhirnya diputuskan bahwa ponakan gue yang tertua tinggal sama nenek gue di Purwakarta dan adeknya ikut pindah dengan Ayahnya yang akhirnya menikah lagi beberapa tahun kemudian.

Agak ironis memang ketika sang kakak yang seharusnya jauh lebih mengenal Ibunya, malah tidak teralu pusing dengan adanya peran Ibu barunya. Sedangkan si adek yang notabene sekarang masih kelas  2 SD  begitu kritis dalam mengartikan konsep Ibu tiri di kepalanya. Kalau saya pikir lagi mungkin karena sang kakak bisa tumbuh dalam didikan nenek saya yang baik (mana ada nenek ngga sayang cucu, itu pikiran sederhana saya). Terlebih karena memang sang kakak tinggal bersama nenek saya sejak dia masih pipis di popok sampe sekarang udah pake pembalut.

 Sedangkan si adek harus berkembang dengan peran Ibu barunya, dan peranan lingkungan sekitar dalam mengkonsepkan “step mother” di kepalanya. Herannya,bukan keluarga kami (yang notabene ada hubungan darah langsung dengan Almarhumah Ibu kandungnya) yang menjelaskan bagaimana seorang Ibu tiri itu, melainkan malah lingkungan sekitarnya yang menjelaskan kepada dia bahwa Ibu tiri yang sekarang hanyalah seorang ibu tiri.

Dan entah, saya merasa ponakan saya ini begitu kritis dan tidak menelan mentah-mentah apa yang dikatakan orang-orang. Dia beberapa kali bercerita kepada nenek saya ketika dia berkunjung kemari:

“Nek, Ibu tuh jahat tauk. Masa kalo adek ngga mau disuruh adek suka dipelototin. Adek bilangin aja kemaren ke Ayah..”

“Nek, Ibu kok kalo sama anaknya ngga pelit tapi kalo sama adek kok pelit ya?”

“Nek, kalo Ibu ngelarang adek main ke rumah nenek itu bener apa salah?”

“Nek, kok Ibu xxx beda sama almarhum Ibu adek ya Nek? Cantikan Ibu yyyy....”

Nah lo, anehnya dia suka cerita kalo dia suka ngeliat Ibunya sesekali ada di sekitar dia. Bahkan beberapa kali ketika mereka berkunjung ke makam Ibunya, setelah pulang si adek ini cerita kataya tadi ada almarhum Ibunya waktu mereka ke makam. “Ibu cantiiiik banget Nek, tadi senyum sama adek dong...”

Sempet dia nanya juga  ke neneknya, “Nek, emang kalo Ibu tiri itu pasti jahat ya Nek?”. Dan dengan bijaknya, Neneknya yang statusnya adalah Bu Dhe gue menjawab dengan bijak,” Ibu tiri itu harusnya ngga jahat. Ibu tiri yang baik itu harusnya bisa jadi temennya dedek, bisa jadi sahabat walaupun nggak pernah bisa gantiin Ibu kandungnya adek.  Nah kalo Ibu xxxx suka marah sama adek, berarti Ibu xxxx itu  ibu tiri yang baik apa enggak?”. Disitu si adek Cuma bisa ngangguk-ngangguk dan bilang,” Enggak Nek. Kasian Ayah ya Nek...”


Anak sekarang itu jangan di under estimate-in. Terkadang kita nggak perlu mendoktrinkan sesuatu kepadanya, apalagi secara berlebihan, dan membiarkan mereka berpikir kritis dengan sendirinya. Dan ponakan saya ini terhitung cukup berhasil dengan metode didik seperti ini. Dia bahkan ngga pengen ada sesuatu yang buruk terjadi. Setiap kali dia abis cerita panjang lebar, dengan centilnya dia selalu bilang,”Tapi Nenek jangan cerita sama ayah ya kalo kemaren adek di-blablabla-in...”

Ngerasa bahwa sinetron di Tivi ini makin bahaya buat ditonton anak kecil. Dengan selalu adanya konsep ibu tiri yang tidak baik hati. Beda banget sama konsep ibu tiri yang ada di infotainment versi Ashanti yang bisa jadi sahabatnya Aurel atau Bunda Dorce yang bisa jadi Ibu yang baik buat anak-anak angkatnya. Anak-anak kan lebih suka nonton sinetron daripada infotainment. Gimana engga,  nyatanya ponakan gue lebih apal lagu butiran debu daripada lagu Hadad Alwi. 

Sebenernya semua kembali kepada Ayah sih. Bagaimana dia pandai mengontrol keadaan keluarganya agar kapalnya ngga berat sebelah atau suka keilangan radar. Dan yah....bersyukurlah kita yang sejak lahir hingga sedewasa ini dibesarkan dalam SATU keluarga yang utuh.  Iya SATU aja, jangan banyak-banyak. Keluarga KEDUAnya ntar aja kalo udah punya pasangan di buku nikah. Keluarga KETIGAnya ntar aja juga kalo nama kita udah masuk jadi Ayah atau Ibu di akte anak. Amiiiinn...

0 komentar:

Posting Komentar