Selamat sore, senja hari Sabtu milik Ibukota. Terasa cukup adil menyentuh pipi saya dengan begitu hangat setelah seharian berperang dengan dinginnya invoice yang terasa memilukan jika dibiarkan tergeletak rapi di dalam stofmap-stofmap bening di meja kantor. Simply word, yess I'm working on Saturday. Good thing to fill my empty day without you. You?? Eh? Anyone??
So, what i should I say now?
I miss you.
Not enough??
Okay, I miss you too...
23 Nov 2013
21 Nov 2013
when some reason of smiles better keep untold
Terkadang mencintai kamu itu seasyik bermain game online di tengah malam di kamar yang hanya diterangi cahaya kuning dari lampu meja yang sudah mulai tertutup debu tebal. Serasa tak ingin berhenti. Mencintai kamu juga seasyik mendengarkan musik hype yang terputar kencang dari speaker super bass di mobil yang melaju kencang di jalan tol yang sepi kendaraan. Terlalu seru. Mencintai kamu seasyik menikmati ikan-ikan yang berjalan pelan mengitari terumbu-terumbu karang warna warni di air laut yang dingin namun begitu jernih. Sangat menenangkan.
Aku selalu merasa mencintai kamu semudah itu. Seharusnya. Seandainya aku tidak terlalu penakut untuk memulai membuka hati ini dan membiarkan kamu mengisi sedikit relung-relungnya yang telah mulai dingin karena lama tak ada yang mencoba untuk bertegur sapa dengannya. Aku masih terlalu pengecut untuk mencoba menulis satu kata untuk memulai lembaran baru buku hidup bersampul merah muda dengan gambar hati yang konon dilambangkan sebagai cinta. Tapi bagaimana jika ternyata mencintai kamu lebih mudah dari itu.
Ah, aku biarkan saja kupu-kupu cantik itu beterbangan di seluruh rongga perutku ketika aku sibuk bercanda dan sibuk membicarakan morat maritnya keadaan negara dan pemimpinnya itu. Aku biarkan saja tubuhku menghangat seketika ketika kamu bersandar dengan manja di bahuku yang kecil saat kamu asyik bermain iPhone putihmu. Aku biarkan saja ketika aku mulai sering tak bisa tidur waktu malam dan memutar kembali semua celoteh-celoteh ringanmu saat kita bersama beberapa jam sebelumnya. Aku biarkan saja ketika namamu secara otomatis terlintas ketika aku mengucap doa selepas sholatku
Terkadang aku ingin, membelai halus pipimu yang menghangat setiap kali malam mulai larut. Atau bermain dengan rambut ikalmu yang seringkali begitu berantakan karena kamu terlalu kerapkali menggaruknya sekalipun kepalamu tidak gatal. Terkadang aku ingin, menjadi orang pertama yang menyapamu dengan sebuah "good morning" walau hanya menggunakan messenger dan emote-emote centil. Terkadang keinginan itu seringkali aku kubur dalam-dalam pada akhirnya dan menjadi bunga mimpi yang terlalu membuatku sedih ketika aku akhirnya terbangun saat pagi.
Terima kasih, karena kamu begitu pandai membuatku tersenyum dengan begitu ringannya setiap kali matahari menyapa lewat celah gorden hijau tosca yang menggantung di jendela kamarku. Terima kasih karena kamu begitu pandai melepas lelahku dengan candaan-candaanmu yang selalu datang tak terduga ketika aku begitu lelah menatap monitor dan bermain dengan tuts-tuts keyboardku yang mulai pudar warna hurufnya. Terima kasih, karena setidaknya kamu membuatku sadar, bahwa aku masih bisa merasakan satu hal bernama cinta. Sekalipun tak nyata. Karena semuanya hanya akan tetap menjadi rasa yang tak akan pernah kita utarakan. Karena mungkin memang sebaiknya begitu.
Aku selalu merasa mencintai kamu semudah itu. Seharusnya. Seandainya aku tidak terlalu penakut untuk memulai membuka hati ini dan membiarkan kamu mengisi sedikit relung-relungnya yang telah mulai dingin karena lama tak ada yang mencoba untuk bertegur sapa dengannya. Aku masih terlalu pengecut untuk mencoba menulis satu kata untuk memulai lembaran baru buku hidup bersampul merah muda dengan gambar hati yang konon dilambangkan sebagai cinta. Tapi bagaimana jika ternyata mencintai kamu lebih mudah dari itu.
Ah, aku biarkan saja kupu-kupu cantik itu beterbangan di seluruh rongga perutku ketika aku sibuk bercanda dan sibuk membicarakan morat maritnya keadaan negara dan pemimpinnya itu. Aku biarkan saja tubuhku menghangat seketika ketika kamu bersandar dengan manja di bahuku yang kecil saat kamu asyik bermain iPhone putihmu. Aku biarkan saja ketika aku mulai sering tak bisa tidur waktu malam dan memutar kembali semua celoteh-celoteh ringanmu saat kita bersama beberapa jam sebelumnya. Aku biarkan saja ketika namamu secara otomatis terlintas ketika aku mengucap doa selepas sholatku
Terkadang aku ingin, membelai halus pipimu yang menghangat setiap kali malam mulai larut. Atau bermain dengan rambut ikalmu yang seringkali begitu berantakan karena kamu terlalu kerapkali menggaruknya sekalipun kepalamu tidak gatal. Terkadang aku ingin, menjadi orang pertama yang menyapamu dengan sebuah "good morning" walau hanya menggunakan messenger dan emote-emote centil. Terkadang keinginan itu seringkali aku kubur dalam-dalam pada akhirnya dan menjadi bunga mimpi yang terlalu membuatku sedih ketika aku akhirnya terbangun saat pagi.
Terima kasih, karena kamu begitu pandai membuatku tersenyum dengan begitu ringannya setiap kali matahari menyapa lewat celah gorden hijau tosca yang menggantung di jendela kamarku. Terima kasih karena kamu begitu pandai melepas lelahku dengan candaan-candaanmu yang selalu datang tak terduga ketika aku begitu lelah menatap monitor dan bermain dengan tuts-tuts keyboardku yang mulai pudar warna hurufnya. Terima kasih, karena setidaknya kamu membuatku sadar, bahwa aku masih bisa merasakan satu hal bernama cinta. Sekalipun tak nyata. Karena semuanya hanya akan tetap menjadi rasa yang tak akan pernah kita utarakan. Karena mungkin memang sebaiknya begitu.
10 Nov 2013
Saya 24 dan saya mencintai pekerjaan saya
Terkadang sulit untuk bisa membatasai diri untuk mencintai atau tidak terlalu mencintai sesuatu. Saya pun tidak tau apakah saya melakukan semua ini karena saya mencintainya. Tidak, kali ini saya tidak membicarakan laki-laki.
Saya pernah mengatakan sesuatu di salah satu jejaring sosial saya.
Loyal, cinta atau keterpaksaan.
Terasa begitu bias jika saya coba aplikasikan ke kehidupan saya sendiri.
Karena pada dasarnya saya adalah orang yang loyal, saya cintai apa yang saya miliki dan saya seringkali memaksakan diri saya agar semuanya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Lama-lama rasanya cukup mengerikan mendapati diri saya menjadi seorang workaholic yang berakibat dengan terganggunya jam istirahat dan waktu bersosialisasi saya dengan orang-orang non kantor. Iya, itu cukup mengerikan.
Tapi yasudahlah. Toh saya masih 24. Saya wanita pekerja keras, dan ya....saya mencintai pekerjaan saya. Itu saja cukup :)
Saya pernah mengatakan sesuatu di salah satu jejaring sosial saya.
Not all of workers can love their job. Some cause of the salary because they need to be the money maker of their family. Others just to avooid the judges of being "jobless degree". You have to Thank God if you can love your job no matter how miserly, how tiring it is or how it messed your rest time. Because your sincerity had been put by Rabb in your money that you get. Do you want to eat money that even didn't get it with your heart?Kali ini saya mulai menyangsikannya pada diri saya sendiri. Saya tidak tau mana yang lebih sering terjadi kepada diri saya ketika saya mulai memaksakan diri saya untuk menyelesaikan semua pekerjaan saya padahal sebenarnya badan dan fikiran sudah terlampau lelah.
Loyal, cinta atau keterpaksaan.
Terasa begitu bias jika saya coba aplikasikan ke kehidupan saya sendiri.
Karena pada dasarnya saya adalah orang yang loyal, saya cintai apa yang saya miliki dan saya seringkali memaksakan diri saya agar semuanya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Lama-lama rasanya cukup mengerikan mendapati diri saya menjadi seorang workaholic yang berakibat dengan terganggunya jam istirahat dan waktu bersosialisasi saya dengan orang-orang non kantor. Iya, itu cukup mengerikan.
Tapi yasudahlah. Toh saya masih 24. Saya wanita pekerja keras, dan ya....saya mencintai pekerjaan saya. Itu saja cukup :)
Langganan:
Postingan (Atom)