Home

5 Sep 2013

Saya, bapak(teman)kantor dan Papa (dan-dia-yang-saya-tunggu)

Rasanya agak jengah akhir-akhir ini ketika semua orang jadi serasa sering banget ngomogin jodoh sama saya. Rasanya dia seperti sebuah pertanyaan yang dilontarkan saat saya mau pesan seporsi nasi sop di warung makan : pake bawang goreng neng? Atau pertanyaan terakhir ketika sedang di minimarket : mau isi pulsanya sekalian kak?

Apa sih jodoh. Saya bahkan belum ingin memikirkan itu. Ya...setidaknya sejak saya dan rutinitas baru saya menjadi sepasang kekasih seintim saya dengan bb putih saya yang sudah mulai sering lama loadingnya. Bagi saya, jodoh itu....nantilah.

Agak random dengan pertanyaan seorang bapak-bapak teman kantor ( jadi saya bingung mau menyebut beliau sebagai bapak kantor atau teman kantor ) yang saya temui saat makan malam di sebuah warung tenda beberapa hari lalu.

"Jadi, kalau pulang pasti ditanyainnya "Kapan?" ya kan?" tanya si bapak kemudian

"Enggak Pak. Ibu saya bahkan nggak nanya saya sedang dekat sama siapa" jawab saya. Santai. Keki.

"Kontrak 4 tahun. Kalau lulus jaminannya apa?" tanyanya kemudian sambil tertawa sangat ceria

"Jadi supervisor, Pak" jawab saya melahap nasi. Double keki.

"Plus jodoh nggak?" dua bapak yang di sebelah saya tertawa bersama. Zong!

Saya tak tau pasti bagaimana saya harus menyikapi pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Iya, semacam jodoh. Atau bagaimana nantinya kalau saya menikah tapi saya masih dalam ikatan dinas. Terlebih beberapa hari lalu saat saya telpon maharaja di rumah (baca: Papa). beliau banyak memberikan wejangan (sayang sekali bukan kiriman uang).

"Papa suka kok kamu kerja disana. Ngga usahlah kamu mikir mau keluar-keluar dulu. Nanti ketika kamu sudah dapet posisi dan nama, baru deh kamu mikir buat kemajuan karir kamu. Sabar-sabar lah dulu sekarang," saya cuma manggut-manggut. Antara ngerti dan ngeri.

4 tahun itu emang waktu yang sebentar, buat sebuah penitian karir. Tapi buat usia seorang-wanita-yang-konon-lebih-baik-jangan-tua-tua-kalo-mau-nikah itu.....hahaha...

Shortly mind begini deh. 4 taun saya mungkin hanya akan hidup di Jakarta. Ah, saya ngga mau LDR dan ngga kepikiran buat LDR lagi kalo bisa. Kalo emang begitu berarti mau ngga mau, kudu cari pendamping yang ngga harus LDR-an ato singkat kata, domisili atau setidaknya rumah-tempat-dia-tinggal-tetap-atau-sementaranya ada di Jakarta.

Aduh, Jakarta emang luas mameeenn. Tapi pergaulan saya di Jakarta ngga seluas itu. Dan orang sekantor sepertinya ngga ada yang berprospek untuk nikahable (kecuali kalo kangmas mau sama saya siiih). Dan Jakartans? Ngga rasis sih, tapi. Duh....

Mah, haruskah ku lari ke hutan kemudian teriakku?
Atau aku harus menunggu laba-laba merajut jaring-jaring di tembok keraton putih?
Keburu mah.....keburu nggak laku anakmu ini.


Padahal, simpelnya sebenernya sederhana saja. Iya lah, kalo susahnya jadinya complicated bukan simpel. Nggak usah dipikir Jup. Pertolongan Allah tepat waktu. Mungkin nanti di akhir 4 tahun masa kerja disini saya akan menemukan-dia-yang-saya-tunggu. Maybe Jakartans. Mungkin orang Bugis. Mungkin orang Jawa. Atau mungkin bos baru yang datang 2 tahun lagi di kantor ini yang tampan dan masih single, dan seorang bule Arab tajir yang mirip kloningannya Maher Zein??

Bisa jadi! Bisa jadi!
Bisa jadi ngayal lo Jup!!

Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penolong...

0 komentar:

Posting Komentar