Home

5 Nov 2012

loving and belonging

Ini bukan kali pertama kami berbicara serius tentang bagaimana bedanya pola pikir kami berdua. Tidak saat kami dulu menjalin kasih saat muda. Tidak pula saat kini kami tengah menanti kedatangan buah hati pertama kami. Kami tidak pernah sependapat dalam bagaimana aku menjalankan komunikasiku dengan Tuhan. Bagiku agama hanya sebuah identitas dan aktivitas. Bagi dia, agama dan Tuhan melebihi segalanya, tiang pegangan dia dalam menjalani hidup, seperti manusia normal pada umumnya.

Kami memiliki kitab yang sama. Pun pergi ke tempat ibadah yang sama. Kami melakukan hampir semua perintah yang diajarkan agama kami. Dia bangun untuk bersujud di malam hari, aku menghabiskan waktu di siang hari untuk duduk bersimpuh dan membaca kitabku sampai berkeringat karena mentari sedang tinggi-tingginya. Dia sibuk menghafalkan doa-doa dan surat dari kitab kami, aku berpuasa di hari Senin dan Kamis. Dia mendengarkan ceramah dan lagu-lagu berbahasa Arab, aku bersenandung shalawat dengan mulutku sendiri. Kami melakukan aktivitas yang sama. Terus seperti itu sejak kami memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih hingga kami terikat dalam satu hubungan kompleks bernama pernikahan.

Hanya saja semua rutinitas itu tak pernah bisa merasuk dengan baik ke dalam hatiku. Aku seorang berpikiran modern dan liberal. Sementara dia, layaknya orang Indonesia pada umumnya, selalu berpikir bahwa semua budaya barat itu tidak layak ditiru dan melemahkan kadar iman. Aku tidak menganggapnya kolot. Aku dan dia tidak pernah berdebat soal itu. Aku menghargai pendapatnya, begitu pula dia kepadaku. Kami hanya sesekali berdiskusi dari artikel-artikel yang sering ku baca dari internet saat menghabiskan waktu sore menikmati segelas teh melati yang kubuat sembari menunggunya pulang dari kantor. Itu pun tak pernah memakan waktu lebih dari 10 menit karena pada akhirnya kami tidak akan pernah sepakat.

Sebut saja aku pernah berdiskusi dengannya tentang Malala Yousufzai, seorang gadis 14 tahun dari Pakistan yang ditembak di kepala hanya karena dia menyuarakan keinginannya untuk bersekolah setinggi-tinginya meskipun harus duduk di lantai. Aku begitu bersemangat bahwa itu merupakan hal yang keji dan sangat tidak beradab. Bahwa pendidikan itu hak siapa saja, seperti Kartini kita, seperti aku yang harus menyelesaikan kuliah dengan menjadi guru privat mengaji anak para pejabat-pejabat di kota kecil kami. Ditanggapinya dengan enteng saja, "Apakah kamu mendengar apakah orang tuanya mendukung dia untuk terus belajar atau tidak? Mungkin saja dia membantah orang tuanya. Kamu tau bahwa Allah memudahkan ketika orang tuamu memberi izin blablabla....". Sejak itu kami tak pernah lagi berdiskusi lebih dari 10 menit tentang peristiwa dan diskusi yang menyangkut sara dan atau tabu untuk dibicarakan.

Diskusi tanpa akhir itu tak pernah menjadi cekcok bagi kami. Pun tidak membuat salah satu dari kami merasa sakit hati. Kami berkembang dengan cara kami sendiri. Kami membiarkan pikiran kami menjelajah dunia tanpa batas, tanpa saling mencela kesukaan masing-masing. Biasanya selepas berdiskusi seperti itu, aku selalu mengajaknya untuk beli es krim di cafe kecil di ujung komplek perumahan kami yang mayoritas pengunjungnya berusia 5-10 tahun dibawah kami yang sedang menunggu waktu kuliah atau bolos dari les privat sepulang sekolah. Atau jika kami sedang malas untuk beranjak dirumah biasanya kami pindah ke kasur putih besar di kamar berdinding kuning gading dan memulai obrolan ringan baru yang bisa membuat kami betah dan tertawa berjam-jam tak melakukan apa-apa dan baru mandi sore setelah jam menunjukkan angka sembilan atau sepuluh. 

Tapi sore ini sepertinya dia mulai agak sulit menerima pikiran liberal dan kebarat-baratanku. Dipicu dengan ditemukannya sepulangnya kerja, aku masih asik didepan notebook hitamku dan sibuk membuat tulisan dari salah satu thread yang aku baca di salah satu jejaring sosial tentang Pre Marital Sex. Bahwa aku membuat tulisan yang tidak mengatakan tidak setuju terhadap pre marital sex. Sepertinya dia mulai kelabakan kali ini. 

"Sepertinya kamu mulai bertingkah seperti si atheis yang sering kau baca itu?" sapanya sambil mencium puncak kepalaku karena aku hanya menoleh kepadanya sejenak kepadanya saat dia membuka pintu kamar dan memberikan sebuah senyum, dan bukan menyambutnya dengan pelukan seperti yang biasa aku lakukan setiap dia pulang kerja.

"Aku tidak ingin berdiskusi apa-apa. Can we?" aku melepaskan jari-jariku dari menari di atas keyboard yang berwarna perak.
"Kamu tau keseringan membaca artikel seperti itu dapat mencuci otakmu perlahan-lahan." dia memutar kursiku ke arah kasur putih, dan dia duduk ditepi kasur sambil melepas dasi dan kancing kemejanya. 
"Aku tidak akan berpindah agama hanya karena sebuah artikel," kali ini aku membantunya melipat dasi yang telah dilepasnya dari kerah bajunya.
"Berhentilah melakoni peran. Kamu harus menjadi sutradara sesekali," di bukanya kancing lengan kemejanya, dan dilipatnya lengan itu sampai setengah.
"Aku suka bermain peran. Aku tak harus berpikir bagaimana scene yang harus aku siapkan selanjutnya agar penonton bisa lebih dapat menikmatinya dan bukannya bosan lalu pergi. Menjadi sutradara adalah tugasmu sebagai pemimpinku." Aku membantunya melipat lengan kemeja yang satu lagi.
"Aku ingin sesekali kamu menyebutku sebagai imam, dan bukan pemimpin." Dia menarik tas kerjanya, mengambil sesuatu sepertinya. 
"Mandilah. Sudah mau gelap, sebentar lagi pasti adzan. Aku tak mau menunda sholatku hanya karena menunggumu mandi begitu lama." Aku mencium bibirnya lalu memutar kursiku kembali ke depan notebook.
Diletakkannya sebuah kotak beludru berwarna merah marun yang terbuka dengan sebuah kalung dengan liontin dolphin cantik di dalamnya di atas keyboard Notebook-ku. "Kadang aku ingin membuat film bersamamu juga, cantik. Aku mulai bosan hanya bisa menontonmu saja. Happy bornday, Sugar." Lalu dia keluar dari kamar, kudengar suara pintu kamar mandi di depan kamar tertutup.

Aku diam. Aku bahkan lupa ini hari lahirku. Aku terlalu sibuk bermain peran. Aku tersenyum, menghela nafas panjang. Kusentuh dengan hati-hati kalung berliontin dolphin, salah satu binatang kesukaanku. Kuangkat kotak beludru merah marun dari atas notebook-ku, kuletakkan hati-hati di sebelah fotoku dan dia  yang kupasang di meja kerjaku dalam sebuah bingkai berwarna hitam. Kugeser pointerku, masuk ke window sosial media yang menurutnya mulai mencuci otakku. Kubaca status dari thread favoritku. Aku hanya bisa tersenyum, getir. 
mencintai dan memiliki adalah 2 hal yang sangat berbeda, kadang anda bisa saja saling mencintai dengan seseorang tapi keadaan tidak mendukung anda untuk saling memiliki.
sebaliknya terkadang anda bisa saling memiliki dalam sebuah hubungan meskipun tidak ada cinta di antaranya, hanya rutinitas dan rasa saling menghormati yang menjadi pengikat.

karena itu berbahagialah anda yang bisa memiliki orang yang anda cintai :)
Aku menekan tanda silang pada window tulisan yang tadi sedang kubuat tanpa menyimpannya ke arsip siap kirimku seperti biasanya. Aku matikan notebook, mengambil selembar kertas memo dan meletakkannya di atas baju bersih yang telah aku siapkan untuk diapakai olehnya selepas mandi. 

Dear you,
So it's time for you to lead me. 
I heart you.

Regards, Sugar.

p.s. yuk ngga pake lama, keburu Isya :)

0 komentar:

Posting Komentar