Home

8 Jan 2011

bab 2 lumer

perutku terasa kosong. sejak pagi aku belum sarapan. gara2 mama sakit dan pembantu pulang, meja makan benar benar bebas makanan pagi ini. kupakai jaket convers unguku dan berjalan dengan enggan kedepan gerbang kampus. kulirik casio ku, masih ada 20 menit untuk makan sebelum kelas selanjutnya dimulai.

satu yang kutuju hanya warung soto berwarna hijau. tidak ada makanan disekitar kampus ini yang cocok di lidahku selain soto itu. soto lemak. aku suka menyebutnya begitu. terlalu banyak daging dan lemak yang akan lumer di lidah di setiap suapan.

ah iya, aku juga tidak terlalu suka bergabung dengan kawan-kawanku yang lebih memilih makan di cafe-cafe bonafid yang ada di sekitar sini. bukan karena aku tidak punya uang, lihat saja isi dompetku kalau tidak percaya. pasti selalu ada 2 kartu ATM dan 2 kartu kredit serta beberapa lembar uang 50ribuan. tapi untuk apa aku buang-buang uang kepada mereka yang sudah kaya, lebih baik aku berikan uangku kepada orang-orang macam Bu Inem, penjual soto lemak, yang masih butuh banyak uang untuk biaya sekolah anak-anaknya.

ini bukan berarti aku tidak punya teman. ada beberapa teman dekatku. tapi mungkin karena mereka terlalu malas atau kuran pintar atau kurang beruntung, akhirnya banyak mata kuliah kami yang kini tidak lagi bersamaan. dan aku yang tidak terlalu suka berbaur dengan orang baru, lebih nyaman dengan kesendirianku ini. lagian aku tidak menghabiskan banyak waktu dikampus. jadi aku merasa tidak perlu repot-repot berkenalan dengan seisi kelas angkatan atasku demi bisa mendapat teman yang mau menemaniku makan

baiklah, aku sekarang telah duduk disini, di warung soto lemak Bu Inem seorang diri, menghadap semanguk soto lemak dan es teh tawar dan duduk dengan menghadap ke tembok hijau yang warnanya sudah tak terlihat lagi karena ditempeli kalender kampanye para calon - calon anggota DPRD, maupun walikota dan wakilnya.

i don't want you to give it all up
and leave your own life collecting dust


aku menoleh seketika. entah bagaimana aku langsung mengenali suara itu begitu saja. dan terlebih karena sangat jarang ada pengamen yang menyanyikan lagi Hoobastank. dan satu yang meyakinkau bahwa itu dia adalah kedua lesung pipit yang menghiasi pipinya. filippo. dia ada disini? ah...sudah pindah trayek lagi sepertinya orang ini. pantas saja aku tak lagi menjumpainya setelah kali pertama itu. mungkin para penumpang di bus tidak cukup dermawan kepadanya.

aku membalikkan lagi kepalaku ke arah mangkuk soto lemak yang masih berasap karena panasnya. kusendok sotoku dengan enggan. tiba-tiba saja aku merasa kenyang. aku meminum sedikit es teh tawarku, lalu kupaksa mulutku memakan soto yang sudah aku beli.

so why are you running and running away
why are you running and running away


sambil mengunyah aku membuka tas. ku keluarkan uang seribu dari dompetku. dia menyelesaikan satu lagunya. kali ini satu lagu saja sepertinya. dia menghampiriku sambil menyodorkan plastik piatos, kali ini rasa sapi panggang karena warnanya cokelat. mungkin plastik piatos biru kemarin sudah berlubang karena terlalu penuh berisi recehan dari para dermawan. aku menoleh, sambil menyorongkan uang seribuanku ke dalam bungkus piatosnya. lagi lagi dia tersenyum sambil berucap terima kasih. suaranya serak serak menggoda. ah....

aku melanjutkan makan soto hingga habis sambil mengotak atik Xperiaku mengecek email yang masuk dari kakakku di Ausie. kuhabiskan es teh tawarku dan siap menggeret mundur kursiku ketika tiba-tiba sikuku terantuk benda keras serupa kayu. aku berfikir seratus kali sejak kapan aku duduk menghadap tembok dan dibelakangku ada tembok triplek. aku menoleh.

"aduh, maaf mbak maaf..." ujar sipembawa triplek berjalan. ternyata sikuku terantuk badan gitar. dan ternyata si pembawa triplek berjalan itu adalah pengamen tadi. si filippo.

"eh...iya. nggak apa2. saya pikir ada tembok dibelakang saya, kok saya lupa. ternyata gitar." ujarku bodoh sambil membenahkan jaketku yang sudah benar posisinya. aku ngeloyor langsung menuju Bu Inem.

"ini Bu. biasa..." sahutku sambil mengeluarkan uang enam ribu pas.
"haha...tiap kesini kok pesennya nggak ganti-ganti mbak. enggak kepengen nyobain pecel Bu Inem apa?" tanya Bu Inem sambil mengelap tangannya ke serbet sebelum menerima uang dariku.

"ah...saya nggak boleh makan sambel kacang Bu. pedes. perutnya nggak tahan..."aku cengar cengir mendengar kata pecel. satu makanan pantangan dari dokter internisku yang mudah sekali untuk tidak dilanggar.

"owalah....wong kalo bilang nggak pedes ya saya bikinin yang manis mbak. biar mbak venus tambah manis terus punya pacar gitu. kesini kok sendirian terus..." si Bu Inem ngelantur sambil memasukkan uang yang sudah diambilnya dari tanganku kedalam laci "meja kerja"nya.

"hahaha...Bu Inem ini bisa aja. yaudah Bu, makasih ya...saya masih ada kelas lagi ini. permisi Bu..." jawabku sambil ngeloyor dan lagi, sambil membenahi jaketku yang sudah rapi. mungkin sekarang sudah selicin jas hitam yang biasa dipakai untuk pas foto melamar kerja.

aku melirik sejenak ke arah si filippo. dia sedang memasukkan sesuap soto ke mulutnya, dan yang secara tiba-tiba menoleh ke arahku juga. aku langsung buru-buru meninggalkan warung soto lemak.

ah...sepertinya bukan hanya sotonya saja yang masih terasa lumer di mulutku. senyum dengan lesung pipit pengamen tampan itu juga rasanya masih lumer di mataku. manis.

2 komentar:

  1. wah, mbak jupe punya blog jg to??

    niat ngawe novel ki,sukses yoo

    BalasHapus
  2. uda laaammaaa
    kamu punya juga set??
    amin amin amin
    pengen deh bisa jadi penulis
    :D

    BalasHapus