Home

10 Jan 2011

bab 4 diakah Yuri?

aku melajukan prius merahku di jalanan semarang yang mulai lengang. jam di dasbor mobil menunjukkan pukul 1 pagi. jam pulang kerja yang terhitung awal dibandingkan hari hari lainnya. biasanya aku baru meninggalkan coffee shopku jam 2 pagi. aku sedang meraba mencari Xperiaku yang terjatuh di bawah kakiku saat tiba tiba ada seseorang pria mengagetkanku berlari di jalanan sepi dan membuatku terpaksa menginjak rem dengan ekstrim sampai membat ban belakangku berdecit nyaring.
tapi terlambat, sepertinya aku menabrak orang itu karena aku tidak melihat dia berdiri di ujung kap mobilku. keringat dinginku keluar. aku melepas sabuk pengaman dan buru buru membuka pintu dan melihat kedepan mobilku. serang pria, tengah tengkurap di aspal, dengan darah yang membasahi sekeliling kepalanya. belum sempat aku mendekati si pria yang terkapar di aspal ketika tiba tiba segerombolan preman menghampiriku dan si pria yang pingsan itu. dia belum mati, bahunya masih terlihat bergerak. sedikit membuatku lega.

"belom dibayar utangnya udah mampus aja dia. gimana ini kita bilangnya?" ujar seorang pria berambut merah sebahu diikat tipis yang mengenakan rompi jeans dan boot tinggi.
"yaudah, mau gimana lagi. masak orang mati masih mau dimintain duit." seorang pria tinggi kurus yang berada di sampingnya menimpali sambil menendang kaki si pria yang tengah pingsan di jalan.
"maaf...mas mas ini siapa? kenal sama orang ini?" tanyaku bingung. aku mencoba untuk mendekati si pria yang kutabrak.
"bukan urusan mbak!! sini, kasih duit!!"si pimpinan gerombolan ini menggertakku. badannya paling besar diantara yang lain. dia menggunakan jaket kulit cokelat. tampak kontras dengan celana jeansnya yang berwarna biru yang sudah mulai keputihan.
aku bengong. membenarkan posisi kacamataku. malas berurusan dengan sampah sampah macam mereka.
"berapa hutang orang ini?" tanyaku sambil mengambil dompet di mobil.
"700ribu sama bunga." jawab si kurus tinggi sambil menepuk bahu pimpinannya.
aku mengeluarkan uang 700ribu dari dompet. untung ada uang cash, kalau tidak ada, mungkin aku akan terkapar menemani si pria malang itu di aspal. dan akan ada headline di koran besok pagi, "ditemukan seorang pria dan wanita tidur tengkurap di jalanan semalam" Not Funny!
"saya lunasin, tapi bantu angkat orang ini ke mobil saya..." ujarku sambil menyodorkan 7 lembar uang warna merah. kepalaku mulai pening melihat darah, bukan pertanda bagus.

3 preman itu langsung menggotong si laki-laki yang kutabrak ke jok belakang priusku. tak ingin aku melihat bagaimana rupa si pria malang itu. bahkan aku tak tau dia sudah tua atau masih seumur aku, atau mungkin pria itu bermata dua atau satu, atau bahkan aku tidak tau dia punya wajah atau tidak. aku tidak tega melihatnya, itu saja. untung rumahku hanya 5 menit lagi jauhnya dari tempat ini.

aku duduk di kursi kemudi dan kulajukan prius sekencang mungkin. 130km/jam, cukuplah...

sesampainya dirumah langsung kubunyikan klakson kencang-kencang. satpam yang menunggu di pintu pagar langsung membuka pagar dan segera kuminta tolong untuk mengangkut korbanku ke kamar tamu, sementaraaku akan mencari kotak P3K dan handuk serta air hangat untuk membersihkan pasir serta darah si pria malang itu.
saat aku selesai berganti baju dan sampai di kamar tamu, 2 pembantu mudaku telah menyelesaikan bagian tersulit dari mengurus korban berdarah ini. apalagi jika bukan membersihkan darahnya itu sendiri??

baru akan menarik nafas lega ketika menyadari bahwa aku mengenali korbanku. filippo. darahku langsung berhamburan ke otak. wajahku terasa panas. jantungku terasa berpacu 5 kali lebih cepat, sampai sesak, atau mungkin percepatannya 7 kali lebih tepatnya kalau mau sedikit hiperbolis.

hei...air mataku tiba-tiba menetes dipipi. aku menghapusnya sebelum dua pembantu mudaku menyadarinya. aku mendekati tubuh yang tergolek lemas itu dan duduk di sisi kasur berseprai kuning gading. wajah si filippo tampak memerah. badannya panas. aku meletakkan kompres air es di keningnya yang diambilkan oleh salah satu pembantu mudaku.

"non, nona nggak kenapa kenapa tapinya? ada yang luka?" tanya Sari, pembantu mudaku yang berusia 16 tahun. aku sebenarnya tidak terlalu suka mempekerjakan anak2 dibawah umur ini. tapi kedua gadis ini adalah keponakan Bi Atun yang telah menjadi rewang dirumah ini sejak kecil, dan mama saat itu merasa kasihan.

"saya nggak apa apa. sudah...kalian istirahat saja. sudah dini hari begini, daripada nanti bangun kesiangan untuk membuatkan sarapan." jawabku tanpa mengalihkan mata dari korban tampan nan malang yang kutabrak.
"baiklah non, kami permisi dulu. non venus kalau butuh apa apa bangunkan saya saja..." sahut Endah, kakak Sari yang usianya terpaut 2 tahun dengan adiknya. aku mengangguk.

10 menit aku masih duduk di sisi kasur tempat si filippo tertidur ketika aku merasa kepalaku sudah cukup pening karena lelah. aku baru akan bangkit ketika filippo mengigau. "Yuri..."

aku teringat wanita hamil yang aku lihat di hate tempo hari. ternyata namanya Yuri. tanpa sadar air mataku menetes lagi. aku tersenyum pada orang pingsan sambil membenarkan bed covernya sebelum pergi meninggalkan dia.

"cepat sembuh, tampan..." aku menghapus air mata sambil berjalan gontai ke arah pintu kamarku.

0 komentar:

Posting Komentar