Home

9 Jan 2011

bab 3 halte dan hurted

siang ini, semarang panas seperti biasanya. aku masih duudk di bis koperasi warna kuning sambil mendengarkan si rihanna berteriak teriak dari Ipod nano putihku. perjalanan sampai kampus masih jauh. rasanya leherku sudah mulai gatal gara gara keringat.

tiba tiba seorang ibu duduk di sebelahku dan berseru " mbak venus... lho kok sendirian?" aku menoleh. ternyata tetanggaku belakang rumah.
"eh... bu Indah. mau kemana Bu?" jawabku sembari melepas headphone ku dari telinga.
"ini mau ke sekolah si Era, ngambil rapot. tadi mampir dulu kerumah pakdhe nya, makanya ini naik dari sini..."jawab si Ibu sambil membenahkan letak duduknya. lebih tepatnya sedikit menggencet bahu kananku agar pantatnya bisa pas menempel di atas kursi penumpang yang kecil dan lusuh ini.

aku mengangguk. malas berbasa basi. aku baru akan memasang headphone ku, tidak tega membiarkan rihanna berteriak - teriak sendiri tanpa ada yang mendengarkan, ketika si Ibu itu membuka mulutnya lagi setelah dia mendapatkan posisi duduk terbaiknya.

"kok mbak venus enggak dianter?" tanya si Ibu.
"saya enggak pernah dianter Bu. lebih suka naek bis. Semarang nanti tambah macet kalo semua orang naek mobil." aku menjawab, mencoba sopan.
"haha....jarang sekali mbak, anak muda jaman sekarang yang mampu kayak mbak venus, yang masih mau naik bis. padahal dirumah ada mobil nganggur. " si Ibu berujar dengan tulus.
aku tersenyum, mencoba terlihat tulus.

ah iya, belumkah kuceritakan pada kalian bagaimana latar belakangku? aku seorang putri dari orang tua pebisnis yang cukup sukses. aku memiliki satu kakak terpaut 3 tahun dariku dan kini sedang melanjutkan S2 nya di Australi. oh ya, tentu saja kedua orang tuaku sangat peduli pada pendidikan. dan itu menurun kepada anak anaknya. kami, aku dan kakak perempuanku, adalah anak anak yang sangat gila kuliah. bedanya kakakku dikaruniai otak yang sepadan dengan hobi belajarnya, sedangkan aku tidak.

ayahku memiliki saham di mana-mana. aku juga tidak tau bagaimana beliau bisa begitu sukses dengan permainan sahamnya ini. Ibuku, seorang dekan dikampusku, hanya saja bukan di fakultas tempatku kuliah. beliau termasuk orang yang disegani, entah karena auranya atau bagaimana. aku yang telah menjadi anaknya selama 20 tahun saja masih merasa segan terhadapnya.

rumahku ada di salah satu komplek elit di barat Semarang. ada 3 mobil yang terparkir setiap hari di garasi rumahku. tentu saja masing - masing untuk aku, ayahku dan ibuku. mobilku tidak pernah keluar di siang hari. aku hanya menggunakannya saat malam untuk menilik salah satu coffee shop yang aku kelola di pusat kota. tentu saja karena aku tidak kuat dengan angin malam dan demi keamanan pulang di dini hari, kata ayah.

aku diberi kepercayaan oleh ayah untuk mengelola satu coffee shop sebagai investasiku saat lulus nanti. perkecualian untukku, ayah tidak ingin aku pergi dari Indonesia untuk melanjutkan S2. ah, lagipula aku tidak terlalu tertarik untuk pindah dari Semarang. aku tidak suka harus berbasa basi dengan orang baru, tentu saja itu alasan utamanya.

mudah saja mengatur coffee shop itu bagiku. aku selalu memiliki ide cemerlang untuk membuat pelangganku selalu datang setiap malam. pembaharuan konsep cafe setiap 3 bulan, merupakan salah satu upayaku. dan kini, coffee shop itu sedang berubah menjadi semacam cafe di hutan. penuh dengan kayu kayu glondong yang disulap menjadi meja dan kursi di sana sini. asal ada konsep jelas, aku tinggal mengajukan proposal pada Ayah, dan voila....tidak sampai seminggu cafe ku sudah berubah.

"mbak venus...Ibu turun duluan ya. udah sampai itu di depan" si Ibu membuayrkan lamunanku.
"eh iya Bu, hati hati dijalan. salam buat dek Era dan Bapak." maklum, aku memang jarang berkumpul dengan warga kompleks karena aku tidak bisa meninggalakn cafe setiap malam seenak hati.

pandanganku mengikuti si Ibu sampai turun. sampai aku tiba tiba melihat sosok itu juga turun dari bus yang berhenti di depan bus kuningku. menenteng gitar hitam penuh stiker bendera negara dunia yang tergantung di bahu kirinya. filippo. dia tersenyum sambil melambai kepada seseorang di depannya. aku melihat ke arah dia melambai. seorang wanita yang tengah hamil duduk di halte bis tempat bis ku dan bis nya berhenti dan membalas lambaiannya.

tiba tiba hatiku mencelos. tidak menyenangkan. tentu saja. tentu saja dia seorang pria tampan yang telah beristri. bagaimana mungkin aku bisa tertarik pada seorang laki laki yang telah beristri. bodohnya kau venus. lagi pula dia hanya seorang pengamen.

mataku masih melihat ke arahnya, bukan ke arah mereka lebih tepatnya. kebetulan oven pemanggang manusia berwarna kuning ini terjebak macet. si filippo terlihat memberikan sekotak susu uht kepada wanita itu. ah...dia mencari uang mati matian untuk istrinya yang sedang hamil. beruntung sekali wanita itu. si filippo tersenyum kepada wanita yang tampak girang menerima susu dari tangannya. hingga tiba tiba dia menoleh ke arah jendela tempat dudukku.

baiklah, itu mata yang juga menawan. teduh sekali. ada yang menyumbat aliran jantungku sepertinya. aku merasa wajahku memerah. senyum untuk wanita di sampingnya masih tersisa, masih menampakkan sedikit lesung pipitnya di pipi. aku hampir melompat ketika Xperiaku bergetar di saku celana. ku ambil hp ku dari saku. mama. aku mengangkat telpon sambil menutup jendela, meredam suara bising dari luar. dan saat aku mau menoleh untuk melihatnya lagi, ternyata bis ku sudah berjalan meninggalkannya jauh di belakang. di halte bis. bersama istrinya yang tengah hamil tua.

aku menghela nafas lalu mengangkat telpon yang masih bergetar di tanganku. "Halo, Ma?"

0 komentar:

Posting Komentar